Cerita Seks ini terjadi setelah beberapa tahun sejak aku lulus SMU, saat itu usiaku kira-kira menginjak 22 tahun, dimana keadaan ekonomi orang tuaku sedang mengalami cobaan. Karena kesulitan ekonomi, dan karena kakakku sudah telanjur masuk universitas swasta yang sudah mengeluarkan biaya yang cukup besar maka orang tuaku hanya mampu membiayai kuliah kakakku untuk menyelesaikan studinya, dan dalam kondisi ini aku terpaksa mengalah tidak mendapatkan biaya untuk melanjutkan sekolah lagi, bahkan harus ikut berjuang mencari tambahan sesuap nasi. Namun tekadku untuk menjadi orang yang berguna tetap besar. Aku tidak boleh putus asa, aku harus melanjutkan sekolah sampai mendapat gelar sarjana, tekadku sudah bulat. Aku akan mencari uang sendiri untuk biaya kuliahku.
Aku mencari universitas swasta yang memberikan kuliahnya pada malam hari, sehingga aku dapat bekerja mencari uang pada siang hari. Tetapi bagaimana mungkin di jaman edan ini seorang lulusan SMU seperti aku ini dengan mudah dapat pekerjaan, sedangkan yang sarjana bahkan S2 saja masih banyak yang menganggur. Aku sudah bertekad, pekerjaan apa saja aku terima asal mendapatkan gaji. Dari kantor satu ke kantor lainnya sudah aku masuki tetapi kelihatannya sulit sekali mendapatkan pekerjaan dengan modal tanpa keahlian. Tapi aku ingat pepatah, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Aku tidak putus asa dan setelah ke sana ke mari dengan memakan waktu yang cukup lama, akhirnya aku mendapat pekerjaan di sebuah salon kecantikan di daerah Tebet, daerah orang-orang The Haves. Namun karena aku tidak punya keahlian apa-apa, aku hanya dijadikan tukang cuci rambut para pelanggan sebelum dipotong. Pekerjaan ini aku terima dengan ikhlas. Kata orang tua, kalau bekerja dengan ikhlas, maka di situ ada hikmah dan tidak terasa capai.
Pemilik salon tersebut seorang wanita keturunan China yang baik sekali dengan postur yang mempesona. Lagi-lagi aku mulai menilai setiap wanita yang aku temukan. Usianya kira-kira antara 30 tahun dan dia belum punya suami, entah kalau menikah, aku tidak tahu sudah apa belum. Dadanya sebetulnya tidak begitu besar, mungkin kira-kira ukuran BH-nya sekitar 32C. Tapi bulat pinggulnya, aduh.. indah sekali, membuat laki-laki tidak berkedip matanya kalau mamandangnya. Dengan kebiasaan sehari-hari dia selalu memakai pakaian yang ketat, maka bentuk tubuhnya yang cukup padat, membuat postur tubuhnya sangat enak untuk dipandang, apalagi dengan kulit yang putih. Aku sudah mulai lagi dengan membayangkan bagaimana kalau pembungkus itu tidak ada. Tapi kenapa belum ada laki-laki yang mau menikahinya? Andaikata dia menawariku, pasti tanpa berpikir panjang lagi kuterima. Oh ya teman-teman, dia selalu memakai rok mini, sehingga menambah inventaris pandangan pada dirinya, kadang-kadang terlihat paha mulusnya terkuak agak ke atas.
Pelanggan di salon itu cukup banyak, laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, tetapi yang paling banyak adalah ibu-ibu yang kelihatannya usianya sekitar 36 sampai 38 tahun. Aku cukup berpengalaman menaksir usia seorang wanita. Dan dapat dipastikan yang datang adalah orang-orang berduit. Kalau pelanggan laki-laki yang banyak, itu disebabkan karena penampilan pemiliknya yang menarik, ditambah keramah-tamahan yang jarang dimiliki oleh pemilik salon lainnya yang kadang-kadang genit menggoda.
Banyak juga pelanggan rutin yang hampir tiap hari Sabtu datang, dan ini didominasi oleh kaum ibu. Dan salah satunya adalah seorang ibu kira-kira usianya 36 tahun dengan wajah cukup cantik tetapi kulit tidak terlalu putih, tapi juga tidak terlalu hitam, sedang-sedang saja. Tinggi badan kira-kira 165 cm, cukup ideal untuk ukuran seorang wanita. Ukuran BH-nya belum kelihatan meskipun dilihat dari samping, karena dia selalu memakai pakaian blouse longgar, sehingga sulit untuk memprediksi ukurannya dari luar, entah kalau nanti dari dalam. Dan anehnya setiap dia datang, dia selalu meminta aku yang melayani untuk mencuci rambutnya, meskipun aku sedang ada pekerjaan mencuci rambut pelanggan lainnya. Bila perlu ditunggunya. Oh ya, rambutnya cukup lebat, hitam mengkilat (seperti iklan shampo di TV) dan kalau diurai, bukan main indahnya dengan potongan yang sangat bagus, dengan panjang sampai ke punggung. Hal itu yang membuat kecantikannya semakin bertambah, karena potongan rambutnya dibuat seperti potongan rambutnya Cindy Crawford.
Penampilan sehari-harinya, rambutnya disanggul modern seperti layaknya istri seorang pejabat. Dia datang setiap hari Kamis jam 09.30, hampir selalu tepat. Seringkali minta dicreambath, tetapi kadang-kadang juga hanya cuci saja. Setiap datang, dia paling sedikitnya menghabiskan uang lebih kurang dua ratus ribu rupiah, ya untuk perawatan lainnya. Sampai suatu hari, hari itu hari Rabu pagi kira-kira jam 10.00, dia datang dengan tergesa-gesa masuk ke dalam salon sambil mencariku.
“Mana Rully, mana Rully..” katanya.
“Ya Bu.. Rully ada di sini”, sambutku sambil ketakutan, ada apa kiranya dia mencariku.
“Ah kamu, cepet cuciin rambutku segera, aku ada undangan nih. Udah agak terlambat.. maklum bangunnya kesiangan”, katanya.
“Rambutnya mau diapain Bu?” kataku.
“Cuma dicuciin saja kok”, katanya lagi.
“Baik Bu, di sini Bu..” kataku sambil menunjuk tempat duduk untuk mencuci rambut.
Dia langsung merebahkan tubuhnya ke kursi tersebut sambil menyibakkan rambutnya ke belakang, baunya wangi.
Aku mulai mencuci rambutnya sambil memijat-mijat kecil kepalanya, kemudian pipinya kuusap lembut dengan telapak tangan diiringi pijatan kecil. Hal ini sering kulakukan kepada pelangganku untuk merangsang syaraf rambut dan syaraf muka. Mataku dari atas kepalanya memandang tubuhnya yang telentang di atas kursi cuci. Oh, kelihatannya dia tidak memakai BH. Hal ini terlihat dengan tonjolan dari puting susunya. Memang kalau sedang dalam posisi berdiri tidak seorang pun yang dapat melihatnya karena bajunya yang longgar. Dengan kancing blouse bagian atas terlepas satu, aku dapat menangkap belahan dada yang terkuak keluar. Kelihatannya dia tidak menyadari akan hal itu, bahkan malah memejamkan matanya, menikmati pijitan kecilku, yang sudah sampai ke lehernya.
“Rul.. kamu udah lama kerja di sini?” tiba-tiba keheningan dipecahkan suara ibu tadi.
“Baru dua bulan Bu.. saya perhatikan Ibu hampir tiap minggu ke sini ya Bu?” namun pembicaraan ini tiba-tiba terputus.
“Aduh Rul.. itu jerawat kok kamu pijit, sakit dong!” katanya sambil meraba jerawat yang dengan tidak sengaja kupijit.
“Oh ini toh, maaf Bu saya nggak sengaja. Habis sembunyi tertutup rambut sih..” kataku.
“Ibu kok jerawatan sih? Anu ya.. nggak..” aku tidak berani melanjutkan, takut ibu itu marah. Tapi malah dianya dengan santainya yang melanjutkan.
“Kamu mau ngomong, nggak tersalurkan ya? Kamu memang nakal kok”, katanya acuh tak acuh.
“Rambut Ibu bagus loh, lebat dan hitam kayak yang di TV”, kataku mulai berani menggoda.
“Ah masak sih..” katanya tersipu-sipu.
Memang begitulah wanita kalau mendapat pujian atau godaan meskipun dari seorang lelaki pencuci rambut, perasaannya terbang menerawang nun jauh di sana.
“Rul.. bisa nggak sih kalau cuci begini dipanggil ke rumah. Kalau bisa kan enak ya.”
“Nggak berani Bu saya, nanti kalau ketahuan dimarahin. Cari kerja susah”, kataku.
“Kalau aku bilang bossmu gimana?” katanya tidak mau kalah.
“Terserah Ibu, ” kataku lagi tanpa bisa membela diri lagi.
“Zus.. Zus..” teriaknya langsung ke pemilik salon.
“Ada apa Bu?” jawab pemilik salon itu.
“Boleh nggak kapan-kapan aku cucinya di rumah saja. Nanti aku tambah biayanya”, katanya lagi.
“Waduh Bu maaf nggak bisa Bu. Soalnya kan masih banyak pelanggan lainnya, Bu. Betul-betul maaf Bu.. tapi kalau di luar jam kerja atau pas dia libur boleh-boleh saja sih”, kata pemilik salon.
Waduh, aku nggak bisa menolak deh. Bossku sudah mengatakan seperti itu. Aku nggak enak kalau mencuci di rumah, soalnya aku rasa nggak bebas, apalagi belum tentu ada kursi cuci seperti di salon. Kerjanya kurang enak.
“Tapi Bu.. di sini saja ya Bu..” pintaku.
“Kenapa? kamu nggak mau ya mencuci aku di rumah”, katanya dengan nada agak tinggi.
Waduh marah nih orang, biasa istri seorang pembesar kalau kamauannya tidak dituruti cepat ngambek.
“Nggak gitu Bu, kan di rumah nggak ada kursi seperti ini Bu..” kataku menolak dengan halus.
“Siapa bilang nggak ada.. kamu menghina ya.. kalo nggak mau ya sudah”, katanya semakin tinggi. Wah.. wah.. ini benar-benar marah.
“Maafkan saya Bu, saya nggak bermaksud untuk menolak permintaan Ibu. Tapi baiklah Bu, kapan Ibu mau Rully siap kok Bu..” kataku mengakhiri permintaannya.
“Nah gitu dong.. terima kasih ya Rull..” katanya puas.
Aku terus memijit bahunya dengan jari-jariku sedikit masuk ke dalam lubang leher bajunya, “Hmm.. enak di situ Rull”, suara itu keluar dari mulutnya yang mungil. Di situ aku urut agak lama, sekitar 15 menit. Belahan dadanya semakin terkuak saat jariku turun masuk. Dari sini aku dapat melihat dan memperkirakan ukuran buah dadanya, pasti ukuran BH-nya 36 entah A, B atau C, aku nggak perduli, yang penting buah dada itu sungguh besar meskipun sudah agak turun. Cuma sampai saat itu aku belum melihat putingnya sebesar apa dan warnanya apa.
“Bu sekarang sudah setengah sebelas loh Bu, Ibu mau berangkat undangan jam berapa?”
“Nanti aku dijemput bapak jam 11 persis”, katanya.
Aku berpikir, aku selesaikan 15 menit lagi kemudian mengeringkan 15 menit sambil merapikan, aku kira cukup, karena rambutnya hanya disisir dengan teruai alami saja, sehingga tidak perlu waktu banyak untuk menyanggul segala. Saat jam 11.00 tepat suaminya menjemput dan langsung pergi.
“Terima kasih ya Rull..” katanya sambil memberikan tip kepadaku, aku lihat uang lima puluh ribuan dua lembar. Aku bersyukur sekali karena uang sebesar itu pada saat itu sangat berharga. Hari itu rasanya cepat sekali berlalu. Aku pulang dari kerja jam empat sore, istirahat sebentar kemudian aku berangkat kuliah. Aku mengambil Fakultas Ilmu Komunikasi, yang tugasnya nggak begitu banyak.
Sampai di rumah jam sepuluh lewat lima belas menit, aku mencuci muka kemudian langsung beranjak ke tempat tidur. Mata rasanya mengantuk sekali tapi nggak bisa ditidurkan. Pikiranku melayang dan mengkhayal apa yang telah aku lihat pagi tadi. Buah dada yang masih segar, dengan warna coklat muda mendekati warna cream. Lama aku mengkhayal, dan akhirnya aku pun tertidur pulas.
Pagi harinya, sesampainya aku di salon, bossku menyampaikan pesan telepon dari ibu pejabat kemarin, katanya dia minta untuk dicuci rambutnya di rumah mengingat dia tidak ada kendaraan untuk jalan ke salon. Kalau aku kurang jelas supaya aku telepon balik ke sana. Aku pikir sedikit aneh, kemarin baru dicuci kok sekarang minta dicuci lagi. Tapi peduli amat, yang penting uang masuk kantong, pikirku. Kuputar nomor telepon yang diberikan oleh bossku.
“Hallo.. ini dari salon.. di Tebet, bisa bicara dengan Ibu.. aduh siapa ya namanya Ibu itu..” aku sedikit gugup.
“Ya halo.. oo.. dari salon.. dengan siapa nih.”
“Dengan Rully Bu..” kataku.
“Oh ya Rull, tadi Ibu telpon tapi kamu belum datang. Gini.. aku minta kamu datang ke rumah.. bisa? untuk cuci rambutku.. aku nggak ada kendaraan Rull”,
“Maaf Bu, kalau jam kerja ini nggak bisa.. sedangkan kalau sore saya sekolah Bu.. gimana kalau besok padi Bu, kebetulan giliran saya libur”, kataku.
“Aduh gimana ya.. tapi oke lah kalo nggak bisa.. besok jam berapa kamu datang?”
“Jam sembilan Bu.. ya lebih-lebih sedikit gitu..” kataku.
Esok harinya aku benar-benar datang ke alamat yang diberikan, di bilangan daerah Tebet juga. Rumahnya minta ampun besarnya. Pintu pagarnya tinggi sekali sehingga orang tidak bisa melihat aktifitas yang dilakukan oleh penghuni rumah. Aku jadi berpikir, dari mana uang sebanyak ini untuk beli rumah sebesar itu, sedangkan keluargaku untuk mencari biaya sekolah anaknya saja tidak mampu. Kupencet bell yang ada di samping pintu gerbang. Tidak berapa lama keluar seorang perempuan separuh baya membuka pintu, kelihatannya pembantunya.
“Cari siapa Dik?”
“Ee.. e.. Ibu..” aku nggak melanjutkannya karena aku belum tahu nama ibu pejabat yang kemarin. Aku juga bodoh, kenapa kemarin nggak aku tanyakan ke orang salon.
“Ibu Tia maksud adik..” katanya. Oooh, namanya Tia, baru tahu aku.
“I.. iya.. Mbak..” kataku sedikit gugup.
“Adik dari salon ya? udah ditunggu Ibu di dalam”, katanya.
Aku masuk lewat pintu garasi yang menuju ke bagian belakang rumah. Di garasi berjajar dua buah mobil bermerek, warna biru tua dan silver. Aku semakin minder saja melihat pemandangan tersebut.
“Kok sepi Mbak..” tanyaku agak heran mengingat rumah sebesar itu tidak ada penghuninya.
“Kami hanya berempat Dik.. Bapak, Ibu, supir yang kebetulan adalah suami saya sendiri dan saya sendiri.. sekarang Bapak sedang pergi ke Bandung diantar supir pakai mobil dinas.”
“Ooo..” hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku terheran-heran.
Aku masuk ke belakang, ditunjukannya jalan menuju ke suatu ruangan. Di ruangan tersebut, kira-kira ukuran 5 x 6 meter persegi tersedia peralatan salon lengkap dengan dua buah kursi cuci dan satu buah pengering. Untuk apa barang sebanyak ini kalau tiap minggu tetap pergi ke salon, pikirku. Memang kadang-kadang orang kebanyakan duit jalan pikirannya kurang rasional, yang dipikirnya hanya bagaimana caranya menghabiskan duitnya. Tanpa berpikir bagaimana supaya duitnya bermanfaat bagi orang lain yang membutuhkannya.
Nggak berapa lama, muncul Ibu Tia di belakangku,
“Pagi Rull..”
“Pagi Bu..” kataku agak kaget.
Ibu Tia pagi itu memakai pakaian senam warna cream dipadu dengan bawahan warna merah muda, dengan rambut digelung ke atas, sehingga menampilkan lehernya yang mulus dan tergolong panjang. Keringatnya masih mengucur dari tubuhnya, membuat tubuhnya makin menempel pada baju senamnya. Kelihatan lekuk tubuhnya yang menempel pada baju senamnya, terutama bagian dadanya, nampak tonjolan kecil yang kelihatan sedikit tegak. Sedang bagian bawah, membekas belahan kecil di antara selangkangannya.
“Kamu kok bengong Rull”, katanya memecah kesunyian.
“Ah nggak Bu.. saya cuma..”
“Cuman apa.. cuman ngeliatin gitu”, katanya terus terang.
Ibu Tia membuka gelungannya dan menyibak-nyibakkan rambutnya ke belakang sehingga tergerai lepas. Betul-betul potongan rambut yang sangat menggairahkan menyerupai potongan rambut Cindy Crawford.
“Sekarang kita mulai ya Rull..” katanya sambil merebahkan tubuhnya di atas kursi cuci. Dengan pakaian ketat seperti itu dan posisi rebahan seperti itu, kelihatan sekali kalau buah dadanya masih kencang diusianya yang 36 tahun. Buah dadanya masih mendongak ke atas dengan putingnya yang agak menonjol. Belahan dadanya terlihat di balik pakaian senamnya yang terbuka agak lebar di bawah leher. Aku termangu memandang pemandangan yang menggairahkan nafsuku sebagai laki-laki normal.
Kubuka kran air di wastafel yang telah disediakan khusus untuk cuci rambut, kumasukkan semua rambut yang panjang dan hitam mengkilap itu, mulailah aku mencucinya sampai beberapa menit. Aku lihat Ibu Tia memejamkan matanya sambil kedua tangannya bersedekap di bawah buah dadanya sehingga buah dadanya ketarik ke atas, membuat lebih jelasnya dua buah puting kembar di atas dua bulatan buah dada tersebut. Aku memandanginya sambil tanganku sedikit memberikan pijitan-pijitan kecil di kepalanya, setelah proses pencucian rambut selesai. Pemijitan mula-mula aku lakukan hanya di bagian kepala, kemudian turun di belakang leher, dan kemudian sampai di kedua bahunya.
“Nah di situ Rull.. enak Rull.. aku jarang pijat sih akhir-akhir ini..” katanya sambil matanya tetap terpejam. Sambil memijat bahunya, jari-jariku kucoba sedikit turun menuju belahan dadanya yang montok itu, sambil kuberikan pijitan kecil. Ibu Tia malah membusungkan dadanya sambil menghela nafas. Makin besar helaan nafasnya, semakin menonjol buah dadanya, dan semakin senang aku melihat pemandangan gratis ini. Aku coba lagi jariku lebih turun agak masuk ke dalam belahan dadanya, sambil terus melakukan pijitan kecil. Tapi pijitanku lebih cenderung meraba, karena saking lembutnya. Ternyata pijitanku tadi membuat Ibu Tia agak gelisah, mendongakkan kepala, menaikkan dadanya, menggeser posisi tidurnya dan lain sebagainya. Kelihatan Ibu Tia mulai terangsang dengan rabaanku tadi. Tapi Ibu Tia tidak mengadakan reaksi apapun kecuali menurut apa yang aku lakukan.
Aku semakin berani mengadakan percobaan selanjutnya. Kali ini aku sudah kepalang nekat, kumasukkan kedua tanganku ke dalam belahan dadanya dan menyentuh kedua buah kembarnya, dan kuusap keduanya dengan memutar arah keluar. Ibu Tia semakin membusungkan dadanya seakan-akan mau diserahkan buah kembar itu kepadaku dengan ikhlas. Gairah sudah menjalar ke dalam tubuh Ibu Tia.
Tiba-tiba..
“Rull..” aku kaget setengah mati, cepat-cepat kutarik kedua tanganku dari daerah terlarangnya.
“Ya.. Bu.. rambutnya mau dikeringin Bu..” kataku sekenanya untuk mengalihkan perhatiannya. Badanku gemetaran menanti apa yang akan dilakukan padaku yang telah berbuat kurang ajar tadi.
“Ma.. maaf Bu.. kelakuan saya tadi Bu..” kataku sambil menghiba.
“Oh nggak apa-apa.. enak kok.. Oh ya, rambutnya nggak usah dikeringin pakai pengering.. biar kering sendiri.. Nah sekarang teruskan pijitanmu”, kata Ibu Tia seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tapi tubuhnya digesernya ke atas, sehingga posisi dadanya semakin mendongak ke atas. Aku menenangkan diri beberapa saat, kemudian mulai memijit-mijit lagi di bagian depan. Aku ulangi lagi apa yang tadi kulakukan. Ibu Tia diam, bahkan reaksinya di luar dugaanku. Tanganku ditangkapnya dan dimasukkan ke dalam belahan dadanya. Pucuk dicinta ulam tiba, Tanganku menyambut tarikan itu dengan buru-buru meremas kedua buah dada tersebut. Reaksinya di luar dugaan, bahkan kali ini tidak ketinggalan, pantatnya pun ikut diangkat.
“Rull.. kamu kok nakal sih..” desahnya hampir tidak bersuara.
Masih kenyal dan keras buah dada Ibu Tia. Tanganku masih menelusup ke baju senamnya meraba, meremas, dan sesekali kusentuh puting susunya yang sudah tegak berdiri. “Och.. och..” hanya itu ucapan yang keluar dari mulutnya. Kemudian tangannya merangkul kepalaku yang berada di atasnya dan ditariknya wajahku mendekati wajahnya dan seterusnya diciumnya bibirku dengan ganasnya. “Aauch..” aku kaget bukan main. Aku tidak siap dengan gerakan tersebut, sehingga aku gelagapan dan agak terdorong ke depan hampir jatuh. Akibatnya peganganku pada buah dadanya semakin erat.
“Aduh Rull.. jangan kencang-kencang dong pegangnya..” kata Ibu Tia sambil mencium bibir, sedangkan lidahnya mulai beraksi di kerongkonganku, memutar-mutar, menyedot lidahku dengan penuh gairah. Aku tidak sabar, kulorotkan baju senamnya dari belahan lehernya turun ke bawah sampai perut sehingga terbukalah tubuh bagian atasnya, dan tersembullah dua buah dada yang indah dengan puting yang kecil berdiri tegak. Aku merubah posisi, tidak lagi dari atas kepalanya, tetapi berada di sampingnya sambil tanganku mengusap-usap buah dadanya. Kutundukkan wajahku, kucium buah dadanya dan.. “Heh.. heh..” nafas Ibu Tia terdengar ngos-ngosan menahan birahi yang sudah memuncak. Aku jilat puting susunya, makin kelihatan memerah berkilau karena basah oleh air liurku.
“Geli.. Rull.. aduh.. eenak Rull.. huh.. huh..” kembali nafasnya tidak terkontrol lagi.
Sementara tangannya menggapai-gapai mencari pahaku, kemudian dipeluknya pahaku sekuat tenaga seakan menahan sesuatu yang akan pecah, sehingga jilatanku pada puting buah dadanya terlepas. Sekarang posisiku berdiri sedang Ibu Tia menciumi pahaku sambil mencari selangkanganku. Diremasnya pantatku yang masih padat berisi, digigitnya tonjolan di dalam celanaku.
“Aduh Bu..”
“Kenapa Rull..”
“Enak Bu..” kataku sambil terpejam merasakan kejutan yang diberikannya.
Sambil berdiri, tanganku mencari buah dadanya yang menggantung karena posisinya yang membungkuk. Kuremas, kumainkan putingnya kembali dengan sedikit memberikan cubitan-cubitan kecil, sementara gigitannya masih terus dilanjutkan. Kemudian tangan yang mulus itu mencari retsliting celanaku dan dibukanya, terus dipelorotkan sekalian celana dalamku, langsung saja kejantananku yang sudah sejak tadi tegang mencuat keluar tegak membentuk sudut 45 derajat ke atas. Ibu Tia kelihatan kaget menyaksikan apa yang baru saja terjadi, diam sebentar kemudian mulailah tangannya memegang kejantananku dengan lembutnya sambil berdiri dan sekarang posisi kami saling berhadapan, saling memegang, tanganku memainkan buah dadanya, sedang tangannya memainkan kejantananku. Bibirnya didekatkan ke bibirku sambil berbisik,
“Rull.. aku pingin Rull..”
Aku diam tidak menjawabnya, bukan karena aku tidak mau, tapi sudah tidak ada lagi kata-kata yang bersarang di kepalaku, yang ada hanya nafsu yang sudah memuncak.
Beberapa saat kemudian langsung dikulumnya bibirku dan kami saling berpagut, lidah kami saling melilit, saling sedot. Tanganku mulai bergerilya ke bawah menelusup ke dalam celana senamnya yang tidak memakai celana dalam sehingga tanpa kesulitan sampailah aku pada gundukan yang sudah basah tertutup oleh rambut-rambut halus. Jari tengahku mencari lembahnya, kemudian terus aku sentuh klitorisnya.
“Aduh Rull.. geli sayang..”
Aku tidak peduli, aku lanjutkan gerilyaku. Aku gosok-gosok klitorisnya dengan perlahan-lahan takut kalau menimbulkan rasa sakit. Sementara tangan kananku memainkan kewanitaannya, bibirku tetap bermain dengan lidah ke dalam bibirnya, sedang tangan kiriku meremas pantatnya yang masih keras. Dan sebaliknya, tangan kanannya masih memainkan kejantananku, sedang tangan kirinya meremas pantatku juga. Dengan gairah yang semakin besar, mulutku kuturunkan ke buah dadanya, dan kuciumi, serta aku sedot puting susunya yang sejak tadi sudah berdiri tegak dengan warna merah kehitam-hitaman. Ibu Tia menggelinjang sambil membusungkan dadanya, sambil mendesah kenikmatan dan semakin bernafsu aku dibuatnya dengan dada yang makin ke depan.
“Rul.. cepet masukin..”
Kelihatannya Ibu Tia ingin cepat-cepat menyelesaikan permainan ini. Aku kemudian mengambil posisi jongkok, kupelorotkan celana senamnya maka terlihatlah olehku benda yang tertutup oleh rambut-rambut kecil yang sedikit basah sudah terpampang di hadapanku. Sambil memeluk kedua pahanya, kucium kewanitaannya dengan ganas. Aku sibakkan rambut-rambut tersebut, kumasukkan mulutku ke celahnya dan kusedot cairan lendir yang ada di sekitarnya sampai kering.
“Aach.. Rull..” teriak Ibu Tia.
“Eeh Ibu.. nanti kedengaran orang lo Bu..”
“Habis kamu nakal sih.”
Dijambak-jambaknya rambutku ditekankannya kepalaku ke dalam sehingga makin kencang menempel ke dalam kewanitaannya.
“Rull.. kita ke ruang sebelah yuk..” katanya.
Sambil berpelukan kami berdua berjalan menuju ruang sebelah yang berukuran cukup besar 5 x 5 meter persegi dilengkapi meja, kursi santai dan satu sofa berbentuk empat persegi panjang. Ibu Tia membimbingku menuju sofa tersebut. Kemudian dia membaringkan tubuhnya di atas sofa dengan posisi telentang dan rambutnya yang panjang dan sudah kering tersebut tergerai ke lantai. Pemandangan yang sangat mengesankan, sebentar-sebentar Ibu Tia menyibakkan rambutnya. Nafsuku semakin menggebu, mungkin Ibu Tia sengaja untuk memancing nafsuku dengan keindahan rambutnya. Ditariknya kepalaku ke arah kewanitaannya kembali. Di situ aku teruskan permainanku. Kujilati klitorisnya, kusedot, kumasukkan lidahku dalam-dalam dan Ibu Tia merintih, “Aduh.. Rul.. enak..” suaranya hampir tidak bersuara.
Ibu Tia kemudian meyuruhku naik ke atas tubuhnya dengan kepalaku tetap memainkan kewanitaannya. Diciuminya kejantananku sambil dikocok-kocok kecil dengan tangannya.
“Aduh nikmat Bu..” adegan tersebut kami lakukan cukup lama, tetapi Ibu Tia tidak pernah memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya. Aku tidak mengerti, mungkin gengsinya masih besar, meskipun nafsu sedang menjalar ke seluruh tubuhnya. Tapi dengan ciumannya dan kocokannya sudah cukup membuatku merem melek. Kujilati terus klitorisnya sehingga “Acchh.. Rully.. aku.. mau.. kee.. aduh.. aduh.. Rully.. aauucchh.. eenak.. oh ya.. oh ya.. aku nggak tahan..” Tapi aku tetap saja memainkannya sampai akhirnya Ibu Tia sudah betul-betul tidak tahan.
Dan tiba-tiba Ibu Tia bangkit dan membalikkan tubuhnya, mengangkangkan kakinya ke kanan dan ke kiri sofa, menarik kepalaku, dan sambil menciumi bibirku dia berbisik lirih, “Rull masukkan ya..” tangannya sambil memegang kejantananku menuntunnya ke lubang kewanitaannya yang sudah basah. Digesek-gesekannya kejantananku ke bibir lubangnya, kemudian.. “Bles..”, masuklah kejantananku semuanya. Ditekannya pantatku seakan-akan Ibu Tia tidak mau ada sebagian kejantananku yang tersisa. Dengan posisi kejantananku di dalam, aku diamkan beberapa saat, sambil bibirku mengulum bibir Ibu Tia dan tanganku meremas buah dadanya, terasa sedotan kecil dari kewanitaan Ibu Tia terhadap kejantananku. Enak sekali, makin lama makin keras sedotannya. “Oh.. oh.. oh..” aku mengerang kenikmatan. “Ibu.. Ibu.. aauucch.. oh.. oh..” tapi aku tidak mau keluar duluan. Aku buang konsentrasi pikiranku ke tempat lain, dan aku mulai memompa kejantananku di kewanitaan Ibu Tia. Ganti dia yang mengerang kenikmatan.
“Aaucchh.. auch.. heh.. Rull.. aduh.. terus Rull.. lebih cepet.. auch.. aduh enak sekali Rull..” pompaanku semakin cepat dan semakin cepat, sementara puting susunya aku sedot sampai ludes. “Ach.. ach..” hanya suara itu yang keluar dari mulut Ibu Tia. “Aduh.. aduh.. ach.. ach..” kaki Ibu Tia menjepit pinggulku, diangkatnya pantatnya, tangannya merangkul leherku dengan keras sekali dan bibirnya melumat bibirku dengan ganas, terasa cairan di lubang kewanitaannya semakin deras membasahi kejantananku. Ibu Tia kemudian lemas sambil terengah-engah puas. “Kamu hebat Rull..” tangannya tetap merangkul leherku dan bibirnya tetap mencium bibirku. Sedangkan aku tetap memompa kejantananku ke dalam kewanitaannya, basah sekali. “Saya cabut dulu ya Bu.. dikeringkan dulu..” kataku. Ibu Tia maklum atas permintaanku.
Setelah berada di luar, dibersihkannya kewanitaannya dan kejantananku dengan kain bersih, sambil tangannya mengocok kejantananku agar tetap berdiri tegak. Setelah beberapa saat aku mulai memompanya kembali di dalam kewanitaannya dan kembali sedotannya terasa pada kejantananku. Dan.. “Aauch.. auch..” dia mengerang lagi. Lama hal ini kulakukan dan.. “Aduh Rull aku mau keeluaarr..” kelihatan Ibu Tia untuk kedua kalinya mencapai kepuasannya. Terasa sekali jepitannya semakin kencang, membuat aku tidak tahan dan aku pun ikut mencapai kenikmatan. “Aaacchh.. Bu.. Bu..” Kemudian kami pun lunglai dengan posisi aku tetap di atasnya. Kucium bibirnya.
Setelah kami sama-sama mendapat kenikmatan, aku punya kerja lagi yaitu mengkramasi kembali rambutnya tapi tidak apalah, rambut seorang wanita cantik. Sambil memelukku dan menciumku, “Makasih ya Rull..”, katanya sambil menyelipkan sesuatu ke dalam genggaman telapak tanganku.
“Saya juga terima kasih, Bu.. dan maafin ya Bu kelakuan saya tadi”, kataku sambil tersenyum.
“Sampai kamis depan ya Rull..”
“Wah pekerjaan lagi nih..” batinku dengan senang, kemudian kutinggalkan rumah mewah tersebut dengan perasaan puas sekali.
Demikian kisahku dengan istri pejabat, mudah-mudahan pembaca dapat menikmatinya.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.