Selamat Datang DiKorban Dewasa Silakan Menikmati Video Dan Cerita Dewasa
cerita dewasa 2018
AGEN POKER QQ

TEMAN SEKANTOR


Aku bekerja di perusahaan keuangan Jln. Jendral Sudirman, Jakarta. Posisiku lumayan bagus. Usia 30 tahun, dengan tinggi badan 175 cm dan berat 69 kg. Pengalaman ini terjadi seminggu yang lalu.
Waktu itu baru jam 7 malam. Aku sudah mau pulang karena ada janji dengan teman di Cinere. Ketika lewat front office kulihat Fafa sedang berbenah mau pulang juga. Ketika kutanya ternyata dia mau ke kawannya di Lebak Bulus. Jadi satu jalan. Kebetulan Fafa tidak bawa mobil sendiri. Kutawari untuk pulang bareng dan Fafa oke. Daripada kehujanan, katanya. Lumayan ada teman ngobrol di jalan.
Dalam bekerja Fafa masuk dalam supervisiku. Kuakui dia sangat cantik. Berdarah Arab (Yaman kata dia), langsing, tinggi sekitar 165-170 cm dan kulitnya putih. Rambutnya berombak agak pirang (asli, bukan karena dicat) dan bibirnya sangat sensual.
“Dingin Fa?”, tanyaku ketika sampai di sekitar Blok A.
Memang kurasakan mobilku dingin sekali AC-nya. Padahal sudah kusetel minimal. Mungkin karena hujan meskipun tidak deras. Dan penyakit di selatan Jakarta, kalau hujan macetnya minta ampun. Jam sudah menunjukkan pukul 8.15.
“Iya Pak. Dingin banget”, katanya sambil mendekap tangannya ke dada.
“Kalau di luar gini jangan panggil Pak. Nama saja”, kataku.
“Ya Pak”.
Hujan makin deras. Jalanan makin macet. Jam 9 kami masih berkutat di Blok A.
“Aku laper Fa”.
“Sama. Aku juga dari tadi”.
Kami tertawa bareng. Perut kosong, badan menggigil. Bayangin. Kami ngobrol apa saja tentang kantor, teman-temannya, keluarga sampai keinginannya untuk dapat cowok non arab.
Kulirik Fafa sedang menggosok-gosok tangan kanannya ke hand rem. Mungkin biar hangat. Dengan tangan kiri kupegang tangannya.
“Tanganmu dingin banget”.
“Dari tadi”.
“Aku juga kan?”.
“He eh”, sahutnya tanpa mencoba melepas tangannya dari remasanku. Hujan tetap lebat. Praktis mobilku berhenti seperti yang lain. Macet.
Dalam diam saya remas-remas tangannya. Fafa diam saja. Bahkan juga mulai ikut meremas.
“Lumayan. Agak hangat”, kataku.
“He eh”, jawabnya sambil senyum.
Kulirik Fafa memakai rok mini. Paha putihnya kelihatan meskipun agak gelap. Kubawa tanganku ke pahanya. Fafa juga diam. Dilepaskan tangannya agar tanganku leluasa meraba pahanya. Halus, haluus sekali pahanya. Kuusap-usap naik turun. Perlahan tapi pasti aku mulai menyentuh celana dalamnya. Dari ujung dengkul, dengan gerak mengambang kuusap sampai menyentuh celana dalamnya. Berulang-ulang, Hmm…, lenguhnya.
“Makin hangat Fa”, bisikku.
Fafa diam saja. Kulirik dia memejamkan matanya. Tangannya memegang tanganku di diusap-usapkan ke celana dalamnya. Kini Fafa yang mengendalikan tanganku. Kurasakan mulai basah.
Tanpa sadar kulihat sudah lewat Golden Trully. Kutarik tangan Fafa, kubawa ke penisku yang sejak tadi menegang tapi masih rapi tertutup celanaku. Fafa mengerti. Dia remas-remas penisku. Lama kami saling mengelus, mengusap dan meremas barang maing-masing. Aku juga merasa sudah mulai basah.
Kami sudah sampai perempatan Lebak Bulus. Arah Cinere masih macet. Kanan arah Pondok Indah kosong. Jam sudah jam 11.
“Aku laper”, bisikku di telinga sambil menjilat belakang telinganya.
“Cepet mampir. Bisa pingsan aku. Laparrr…”, bisiknya.
Fafa tetap memejamkan matanya. Tanganku terus aktif bergerilya. Perlahan kutarik pelan rambut vaginanya dari arah samping celana dalamnya. Fafa terus melenguh. Pahanya makin panas. Tangannya makin aktif mengelus-elus penisku dari luar.
Aku ambil kanan. Lalu menyusuri jalur paling kiri. Sementara kegiatan dihentikan. Sekarang cari makan. Kulihat bangunan berpagar bambu gelap. Jalannya turun. Mungkin hotel. Kita bisa makan.
“Kiri ya?, Mungkin kita bisa makan di resto-nya”, bisikku.
“Itu restoran?”, tanya Fafa.
“Nggak tahu. Kalo resto ya syukur, kalau hotel kita bisa makan di restonya”, jawabku sejujurnya. Sejujurnya, waktu itu aku belum tahu sama sekali tempat itu.
Aku belok kiri. Lalu ada orang berlari-lari memakai payung menyambut dan memberi kode untuk mengikutinya. Dia menunjuk sutau tempat seperti garasi dan mempersilakan mobilku masuk garasi itu. Aku masuk. Lalu pintu garasi ditutup. Aku memandang bingung ke arah Fafa. Dia mengangkat bahunya tanda bingung atau tidak tahu juga. Aku lalu turun. Fafa masih di dalam. Kuikuti petugas yang masuk pintu di garasi. Ternyata kamar tidur. Sebuah spring bed besar di tengah. Dua tempat duduk dan satu meja kaca. Dindingnya tertempel kaca besar. Kamar mandi ada di dalam tapi pakai shower.
Ooo.., Ternyata ini hotel atau motel garasi yang diceritakan teman-temanku. Setelah membayar kamar dan pesanan makanan, petugas keluar. Aku mengikuti.
“Turun yuk”, kataku kepada Fafa.
Fafa turun. Kugandeng dia masuk kamar. Lalu kukunci. Fafa tertegun. Aku lalu berdiri di depannya. Memandangnya. Fafa lalu memandangku. Agak lama. Entah bagaimana kami lalu saling menubruk. Kucium fafa sampai terengah-engah. Kujilati bibirnya sambil berdiri. Lidahku meliuk-liuk di dalam mulutnya. Fafa tak kalah garang. Dia memelukku erat-erat dan membalas ciuman buasku. Tangan kiriku menyusup ke blusnya. Tangan kanan menyususp ke celana dalam bagian belakang mengusap-usap pantatnya. Kuciumi Fafa dengan buas. Bibir sensualnya kulumat habis. Lidahku meliuk-liuk dalam mulutnya dan disambut dengan kelincahan lidahnya. Lalu turun ke leher. Kujilati lehernya. Fafa memejamkan matanya terus menikmati rangsanganku. Tangannya terus mengusap-usap penisku yang masih rapi dalam sarangnya.
Pintu diketuk dari luar. Otomatis kami menghentikan aktifitas yang menggairahkan ini.
“Aku ke kamar mandi dulu”, bisiknya, aku mengangguk.
Makanan kutarik di meja. Kutuang coca-cola dalam gelas yang telah berisi es. Kuteguk. Hmm…, segar. Kudengar suara shower di kamar mandi. Rupanya Fafa mandi. Pantas lama. Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi.
Gila!, Gila!, Belum pernah kulihat pemandangan seindah dan seeksotik ini. Menggairahkan, menakjubkan. Aku bengong, terpana, terpesona.
Kamar mandi remang. Hanya cahaya lampu 5 watt yang menerangi. Fafa sedang mandi di bawah pancuran shower. Lekuk-lekuk tubuhnya sangat sempurna. Putih dan mulus tubuhnya yang tersiram air bagai di gambar-gambar playboy. Tinggi, kakinya panjang dan jenjang, pinggangnya kecil, tapi pinggulnya cukup besar. Sangat sempurna. Fafa sedang menggosok lehernya dengan sabun sambil memejamkan matanya.
“Tolong matikan AC kamar. Agar nggak kedinginan kalau keluar”, katanya.
Aku terjaga dari lamunanku. Cepat aku keluar. Memang dingin sekali. AC tidak kumatikan tapi kusetel menjadi 35. Biar hangat. Lalu aku ke kamar mandi.
“Jangan bengong. Mandi sekalian.”, katanya waktu aku bengong lagi, aku segera melepas dan celanaku.
Airnya hangat. Pantas Fafa berlama-lama setelah kedinginan di mobil tadi. Setelah badanku basah tersiram air, Fafa menyabuni seluruh tubuhku dengan pelan dan lembut. Mula-mula tanganku, lalu dada dan perut. Disuruhnya aku berbalik dan kemudian punggungku. Fafa jongkok. Disabuninya kakiku, lalu naik ke paha. Aku memejamkan mata. Kurasakan seluruh elusan dan usapan tangan lembutnya ke seluruh tubuhnya. Akhirnya Fafa memegang penisku dan dielusnya pelan-pelan. Licin dengan sabun, kemudian ditarik dan lepaskan tangannya dari penisku.
Kini giliranku. Kuambil sabun dari tangan Fafa. Mula-mula kuusap kedua tangannya. Lalu perutnya. Naik, kedua dadanya kusabuni dengan lembut. Kenyal. Putingnya mencuat ke atas. Tangan kiriku ke dada kanan dan tangan kananku ke dada kirinya. Berulang-ulang. Fafa memejamkan matanya sambil mendesah. Aku lalu jongkok. Kuusap kaki dan betis indahnya. Pelan. Kunikmati keindahan ini. Lalu naik ke pahanya. Agak direnggangkan agar tanganku bisa menyusup ke celah pahanya. Lalu naik sampai akhirnya kusabun rambut-rambut vaginanya. Agak lama kuusap vaginanya.
“Sudah.sudah..”, lenguhnya.
Aku berdiri. Kupeluk Fafa. Licin tapi nikmat. Tubuh kami bersatu. Kuciumi mulutnya sampai Fafa terengah-engah. Tubuh kami terus bergerak mencari kenikmatan. Tanganku mengusap pantat, paha dan kedua dadanya. Tangan Fafa juga terus menggerayangi tubuhku. Dari usapan di punggung, pantat dan akhirnya bermuara ke penisku. Dikocok-kocoknya penisku. Aku merasa nikmat. Belum pernah kualami pengalaman sedahsyat ini.
Fafa mundur dan bersandar di dinding. Kaki direnggangkan. Tangannya terus memegang penisku. Sabun makin cair tapi masih tetap licin. Perlahan mulai kutusukkan penisku ke vagina Fafa. Fafa mengerti. Direnggangkan lagi kakinya. Dibimbingnya penisku ke vaginanya. Dan ahh…, aku mulai masuk. Mula-mula perlahan. Makin lama makin cepat. Tangan Fafa memeluk kedua pantatku ikut menekan. Nikmat sekali. Badan masih licin. Terus kuayun pantatku dan penisku menghujani vagina Fafa berulang-ulang.
Tak lama, Fafa tak tahan lagi. Dipeluknya aku erat-erat. Fafa telah sampai duluan. Penisku makin kencang menancap. Kuayun lagi pelan. Makin lama makin cepat.
“Ah…, ah…, terus Pak…, terus…”, lenguhnya. Pinggulnya terus bergerak mengimbangi tusukanku. Kami terus berpelukan erat sekali. Mulutnya terus kucium. Bibir sensualnya terlalu sayang untuk dilewatkan.
Kucabut penisku. Kuhadapkan Fafa ke dinding. Aku ingin doggy style. Fafa lalu nungging. Pantatnya masih licin oleh sabun. Kuusap-usap. Jari tengahku mulai memainkan vaginanya. Fafa melenguh. Kumainkan klitorisnya. Kuusap, kupelintir, kusodok. Fafa makin menggelinjang. “Sekarang…, sekarang…”, desahnya.
Dipegangnya penisku. Dan dibimbingnya masuk ke dalam vaginanya. Aku memejamkan mata. Kutusukkan pelan penisku. Kucondongkan badanku, bersatu dengan punggungnya. Licin. Enak sekali. Tanganku meraih kedua dadanya. Kuusap-usap. Licin nikmat sekali. Berulang-ulang sambil menusuk penisku ke vagina Fafa. Aku lalu menegakkan badanku. Kupegang sisi pinggulnya. Aku mulai mempercepat ayunan. Fafa menggoyang-goyang pinggulnya. Aku tarik, Fafa juga ikut menarik pinggulnya. Aku tusuk sekuatnya, Fafa pun mengimbanginya. “Clep…, clep…, clep”.
Akhirnya aku mau keluar. Gerakan makin kupercepat. Jeritan Fafa makin keras.
“Di dalam atau di luar Fa..”, bisikku sambil terengah-engah.
“Di luar saja”, sahutnya.
Fafa tetap nungging. Pinggulnya makin liar. Aku makin tak tahan. Dan…, kucabut penisku dari lubang kemaluan Fafa.
“Sekarang Fa..”, kataku sambil memejamkan mata.
Fafa balik badan lalu jongkok dan mengocok penisku. “Ahh…, “cret…, cret…, cret”, maniku muncrat ke wajah dan badan Fafa. Banyak sekali. Fafa terus meremas penisku sampai tetesan terakhir maniku.




Fafa meratakan spermaku ke dadanya, perut dan mengusapkan ke wajahnya. Baru kemudian dibasuh dengan air shower. Aku membantunya menggosok tubuhnya dari sisa-sisa sabun yang masih menempel. Tapi tetap saja, yang lama kugosok buah dadanya yang ranum itu. Putingnya kuhisap-hisap, kumainkan dengan lidahku.
“Entar lagi”, bisiknya.
“Nggak usah pakai handuk Fa..”, kataku ketika Fafa mau keluar menuju tempat tidur.
Fafa tersenyum. Dia keluar telanjang. Aku mengikuti. Fafa langsung ke tempat tidur. Hawa sudah hangat.
“Lapar?”, tanyaku.
“Sangat”.
Fafa duduk selonjor bersandar ke belakang. Fafa duduk di atasku. Vaginanya menempel erat di penisku. Sepiring mie goreng di tengah, kita makan berdua. Kami makan lahap. Cepat tandas. Aku raih nasi goreng dan kita makan bersama. Sambil makan, Fafa menggerak-gerakkan pantatnya. Penisku yang terjepit mulai mengeras.
“Sakit Fa..”, bisikku.
“Sebentar…, tolong pegang piringnya”, ujarnya sambil mengangkat pantatnya kemudian memegang penisku yang sudah siap tempur. Perlahan dimasukkan ke vaginanya. “Blesss”.
“Nggak sakit kan?”, katanya sambil duduk.
Piring yang aku pegang diminta lagi. Gila, kita lalu makan sambil penisku menancap di vaginanya. Fafa menggerak-gerakkan pinggulnya sambil makan. Akhirnya habis juga sepiring nasi goreng. Kuambil coca-cola dingin. Segar…
“Siap?”, tanyanya.
“Ntar dulu, biar turun nasinya”, kataku.
Aku raih Fafa, kupeluk dan kutidurkan di atasku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Karena Fafa tingginya tidak beda jauh denganku, maka wajah Fafa tepat di wajahku. Kami diam menikmati barang kita yang sedang bersatu. Agak lama kita diam. Tanganku memeluk erat punggungnya.
Ruangan makin hangat. Bahkan cenderung panas. Kami mulai berkeringat. Wangi tubuh Fafa menyapu hidungku.
“Mau didinginkan AC-nya?”, tanyaku.
“Dikit aja. Panas makin asyik. Makin berkeringat..”, ujarnya.
Fafa menggulingkan tubuhnya telentang di sampingku. Clepp.., bunyi ketika penisku tercabut dari vagina Fafa. Aku berbalik memandang Fafa. Kucium bibir Fafa dalam-dalam. Fafa menyambut dengan menyedot dalam-dalam bibirku. Disedotnya pula lidahku. Lalu turun ke leher dan akhirnya kuhisap-hisap puting susunya yang menantang. Fafa melenguh-lenguh. Tangannya memeluk kepalaku, mengusap-usap dan menekan agar aku lebih mengulum dadanya. Capek. Kucium ganas mulutnya. Tanganku meraba-raba pahanya. Lalu mengusap-usap rambut kemaluannya, berulang-ulang. Jari tengahku lalu memasuki vaginanya. Kumasukkan perlahan-lahan. Keluar masuk. Kepala Fafa bergerak tak beraturan ke kiri, kanan, kadang maju, mundur. Kayaknya mulai on lagi. Aku pindah lagi. Kujilati putingnya dengan lidahku. Kupuntir-puntir, kusentuh-sentuh dengan ujung lidah. Lalu kuhisap dan kukunyah. Berulang-ulang. Matanya terpejam menikmati permainanku. Bibirnya kulihat meringis menahan nikmat. Jari tengahku menemukan klitorisnya. Kumainkan. Kutekan, kugelitik dan kutangkap dengan jempolku lalu kupencet pelan-pelan. Fafa makin menggelinjang. Keringat mengucur di wajah dan lehernya. aakkhh.., Fafa menjerit dan menegang. Tanganku terjepit pahanya. Sejenak Fafa terdiam.
“Gile…, bener..”, desahnya sambil memandangku.
Aku turun dari tempat tidur. Kusetel AC menjadi 28. Hembusan hawa agak dingin mulai menyapu ruangan. Lampu utama kumatikan. Juga lampu dekat kamar mandi. Pintu kamar mandi kututup agar cahayanya tidak masuk. Yang menyala hanya lampu kecil di kedua sisi atas tempat tidur.
Aku berdiri di samping tempat tidur. Kupandangi Fafa yang bugil tanpa selimut. Indah, sempurna. Berkulit putih bersih tanpa ada cacat atau bekas goresan dan luka setitik pun. Kedua tangannya ditarik ke belakang kepala. Rambutnya tergerai di kedua sisi bantal. Matanya terpejam seperti menikmati orgasme yang baru kuberikan. Dadanya menantang. Putingnya mencuat. Wajah, leher dan dadanya basah oleh keringat. Seksi sekali. Kulayangkan pandangan ke bawah. Perutnya rata, tanpa lekukan lemak. Pinggangnya kecil. Pinggulnya seakan selalu siap ditempel. Rambut-rambut vaginanya sebagian menyeruak ke atas. Pahanya juga kecil, panjang, seperti jangkrik. Betisnya panjang. Mulus sekali. Ramping. Jari-jari kakinya lentik. Indah. Jagat Dewa Batara! Mimpi apa aku semalam! Aku menelan ludah. Tanpa sadar aku mengelus-elus penisku.
“Jangan onani sendiri…, naik”, kata lirih Fafa mengagetkanku.
Matanya masih terpejam. Fafa menggeliat. Dadanya dinaikkan. Duhai…, indahnya. Putingnya mencuat. Sekeliling payudaranya basah oleh keringat. Kakinya ditekuk sedikit. Mulus sekali…
Kurebahkan badanku di samping Fafa. Kumiringkan badanku. Kupeluk Fafa dari samping. Fafa tetap diam. Matanya terpejam. Nafasnya agak cepat tapi teratur. Kaki kananku di atas pahanya. Lututku tepat berada di tulang vaginanya. Kugerak-gerakkan mengusap rambut kemaluannya. Penisku menempel erat pinggul sampingnya. Tanganku mengusap-usap payudara kirinya.
“Giliranku…”, ujar Fafa langsung bangun dan duduk bersila di sampingku. Dipandanginya tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Fafa tersenyum. Dibasahinya bibirnya dengan lidahnya.
Tanpa basa basi, langsung dipegangnya penisku dengan tangan kirinya. Ufff.., Aku memejamkan mata. Dipermainkan di penisku. Dicengkeram kuat, lalu dilepas. Cengkeram lagi, lepas lagi. Senut-senut rasanya. Jempol jarinya lalu mengusap-usap topi baja penisku. Aku merasa melayang. Apalagi kalau jarinya tepat menyentuh ujung penisku. Uuuff…, rasanya tak tergambarkan.
Dengan ganas Fafa lalu menyerbu mulutku. Dilumat dan dihisapnya bibirku hingga aku sesak nafas. Rambutnya yang agak pirang tergerai menerpa wajahku. Mulut Fafa terus menerobos mulutku, dan lidahku menyusup masuk ke mulutku. Bagai ular, kurasakan mulut itu menari-nari, mematuk-matuk lidahku. Mulut Fafa menyerbu mulutku yang kubuka dan menghisap lidahku dalam-dalam. Dimainkan lidahku di mulutnya, dikeluarkan sedikit, dan dihisapnya lagi. Nikmat sekali.
Tangan Fafa tak kalah aktif. Dikocoknya penisku dari lembut, makin cepat, cepat dan lembut lagi. Permainan ini kunikmati sambil memejamkan mata. Aku merasa di awang-awang. Tanganku menemukan payudaranya, dan kuremas-remas. Kenyal dan nikmat sekali untuk diremas. Jariku memainkan putingnya dan memang menonjol karena terangsang.
Fafa melepas ciumannya dari bibirku dan mulai menciumi wajahku. Dari dahi, kelopak mata, pipi, lalu turun ke leher dan telinga. Dihisapnya telingaku bergantian. Ini membuatku geli namun mm.., nikmat sekali.
Fafa mulai menciumi dadaku. Sampai di puting, dimainkan lidahnya di putingku. Bergantian. Rasanya tak tertahankan. Dihisapnya putingku, dan di dalam mulutnya, putingku dipelintir dengan lidahnya. Aakkkhh…
Fafa kemudian merubah posisi. Tangannya tidak lepas dari penisku. Fafa melangkahi aku, dan dengan perlahan Fafa hendak mendudukiku. Dibimbingnya penisku untuk memasuki lubangnya. Dan uuuff.., blesss…, penisku masuk ke lubangnya. Clep..!, Fafa langsung duduk dengan mantap. Penisku tenggelam di vagina Fafa.
Aku membuka mataku. Fafa tersenyum manis. Dadanya yang indah dengan puting yang menonjol tergantung dengan manisnya. Tanganku tak kuasa untuk tidak meraihnya. Kuusap pelan payudaranya. Juga putingnya.
“Kamu cantik dan seksi sekali Fa…”, kataku tulus dan pelan.
Fafa mulai menggerakkan pinggulnya. Pelan, memutar. Aku masih diam. Tapi kedua tanganku mengelus-elus kedua dadanya.
Fafa mulai menggerakkan pinggulnya makin cepat. Aku mulai menaik-turunkan pantatku. Nikmat sekali. Tangan Fafa mendekap tanganku di dadanya. Menekan agak keras. Aku makin mengeraskan cengkeramanku pada dadanya. Kuremas keras. Fafa makin gila. Pinggulnya berputar hebat. Erangan Fafa makin keras.
“Akkhh…, aakhh…, tusuk lebih keras…”, erangnya.
Aku makin ganas menembak Fafa. Untung spring bednya bagus, bisa memantul. Makin keras aku menyodok, makin keras desahan dan erangan Fafa. Dan aakkkhh…, Fafa mengerang panjang, menggelinjang, lalu diam. Fafa lalu rebah ke atasku. Kupeluk erat tubuhnya. Ternyata Fafa mengalami orgasme.
Penisku masih tegak dan keras dalam vagina Fafa. Aku mulai menggerakkan perlahan. Fafa duduk lagi. Kali ini Fafa mengambil posisi jongkok. Mulanya diangkatnya pantatnya pelan, lalu dimasukkan lagi pelan. Makin lama makin cepat. Aku juga makin cepat, makin keras dan makin dalam menusuk Fafa. Gila!, Bagai naik kuda, Fafa menghunjamkan vaginanya ke batangku di bawahnya. Fafa mulai mengerang lagi. Dengan binal Fafa menaik-turunkan pantatnya dan kuserbu vaginanya dengan penisku.
“Akkkhh…, akhh..”, Fafa terus mengerang.
Ketika pantat Fafa meluncur ke bawah, dengan kekuatan penuh aku naikkan pantatku. Kusambut vaginanya dengan penis perkasaku. Aku tak tahu lagi rasa nikmat apa ini. Berulang-ulang kami mereguk kenikmatan. Mata Fafa terpejam. Kepalanya tengadah ke atas bergoyang-goyang. Seksi sekali. Keringat deras mengucur dari wajah dan lehernya yang putih bersih.
Aku merasa hampir sampai. Kupercepat tusukanku. Akkhh…, akh…, akhh…, cepat…, cepat. Fafa juga makin liar. Gerakannya makin tak beraturan.
“Aku mau keluar Fa..”, bisikku pada Fafa, Fafa diam saja. Terus saja dia menggoyangku. Dan akkh…, Fafa menjerit lagi. Kejang. Menggelinjang lagi. Orgasme lagi dia! Kurasakan jepitan Fafa makin kencang.
“Fa…, di dalam atau di luar..?”, tanyaku sambil ngos-ngosan karena terus menggoyang Fafa.
Fafa kemudian mencabut vaginanya dari penisku. Dikocoknya penisku cepat. Akkhh…, makin cepat Fafa mengocoknya, berulang-ulang. Tapi belum juga keluar.
“Kulum Fa”, pintaku.
“Aku belum pernah”, jawabnya sambil terus mengocok.
Namun Fafa kemudian menunduk dan memasukkan penisku ke mulutnya. Tangannya tetap mengocok. Fafa tidak memainkan lidahnya atau mengemut-emut penisku. Mungkin masih janggal. Aku yang mulai. Kunaik turunku pantatku. Penisku keluar masuk mulut Fafa yang terus mengocok. Dan, akkhh…, akkkhh…, eeemm…, berkali-kali spermaku muncrat dalam mulut Fafa. Namun Fafa tetap saja mengocok. Aku merasa diperas sampai habis spermaku. Agak lama penisku dalam mulut Fafa. Ketika sudah loyo, Fafa mengeluarkan penisku. Diambilnya tissu dan disekanya bibirnya. Dikeluarkannya spermaku dari mulutnya dan diseka dengan tissu berikutnya. Kemudian fafa mengambil coca cola, berkumur dan ditelan. Kupandangi Fafa yang luar biasa dengan perasaan kagum. Fafa tersenyum padaku. Kemudian dipeluknya aku. Kami masih telanjang. Kutarik selimut. Kupeluk Fafa erat-erat. Kami lalu bobok.
Paginya kami bercinta lagi di kamar mandi. Sungguh beruntung sekali. Tak terduga. Tak dinyana. Gadis secantik Fafa bisa kusetubuhi berulang kali tanpa rencana.
Siang di kantor, ada email dari Fafa, “Pak, nanti sore kalau boleh Fafa ikut lagi. Mobil Fafa belum selesai”.

Share this article :

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Support : Agen Poker V | Iklan Link | Iklan Link
Copyright © 2018. Korban Dewasa - All Rights Reserved